Semua bencana ini menyengat benak pikiran kita:
adakah hari esok yang tenang, damai dan aman?
Atau yang lebih ekstrem lagi: adakah hari esok itu?
Kalau tidak ada hari esok, apakah yang akan kita lakukan?
Kalau pun ada hari esok, apa pula yang akan kita lakukan?
Dalam Shi Si Er Zhang Jing (Sutra 42 Bab),
Buddha bertanya pada salah satu siswa, “Hidup manusia itu berapa lama?”
Siswa itu menjawab, “Beberapa hari.”
Buddha berkata, “Kamu belum memahami Jalan.”
Buddha bertanya pada siswa yang lain, “Hidup manusia itu berapa lama?”
Siswa itu menjawab, “Sepanjang waktu makan.”
Buddha berkata, “Kamu belum memahami Jalan.”
Buddha bertanya pada siswa yang lain lagi, “Hidup manusia itu berapa lama?”
Siswa menjawab, “Dalam satu tarikan nafas.”
Buddha berkata, “Sadhu, kamu memahami Jalan.”
Hidup kita yang berharga itu ternyata hanya sepanjang satu tarikan nafas.
Namun hidup ini sungguh ironis.
Saat diterpa panasnya terik matahari,
alih-alih merenungkan makna cahaya matahari bagi kehidupan di bumi,
kita justru mengeluh kenapa udara terasa panas.
Ketika diguyur lebatnya air hujan,
alih-alih memahami betapa berharganya nilai setetes air bagi setiap makhluk,
kita malah mengomel mengapa hujan lagi hujan lagi.
Demikian pula ketika masih bisa bernafas,
kita tidak pernah menyadari bahwa setiap tarikan
dan hembusan nafas itu sebenarnya mengajarkan kita
untuk menghayati adanya ‘perubahan’,
baik ketidakkekalan hal-hal eksternal maupun gejolak batin internal kita.
Dalam satu kisah Chan (Zen),
diceritakan seorang umat memohon petunjuk dari Master Chan - Wu De.
“Master, saya bertahun-tahun belajar Chan
tapi tetap saja tidak mengalami pencerahan.
Lebih lebih terhadap surga dan neraka yang disebutkan dalam Sutra,
saya merasa sangat tidak yakin.
Selain alam manusia, mana ada itu surga dan neraka?”
Master Wu De tidak segera menjawab,
beliau meminta umat itu untuk menimba air di sungai.
Setelah itu beliau berkata,
“Coba lihat air dalam timba, mungkin kamu bisa merasakan bedanya surga dan neraka.”
Setengah percaya setengah tidak, umat itu memusatkan perhatian menatap air dalam timba.
Ia tidak melihat adanya surga dan neraka.
Tepat ketika dia hendak bertanya,
Master Wu De sekonyong-konyong membenamkan kepalanya ke dalam air.
Umat itu memberontak namun tak berdaya.
Saat hampir tak bisa bernafas, Wu De menariknya keluar.
Dengan nafas tersengal-sengal umat itu protes pada Wu De.
“Master, Anda keterlaluan sekali! Saya tak bisa bernafas dalam air,
tidak tahukah Master saya menderita bagai berada di neraka.”
Master tidak marah menerima protes keras itu, dengan lembut bertanya,
“Sekarang, apa yang kamu rasakan?”
Umat itu menjawab, “Sekarang bisa bernafas lagi, rasanya bagai berada di surga!”
Kali ini Master berucap dengan penuh wibawa,
“Hanya dalam waktu singkat, kamu telah kembali dari neraka dan surga,
kenapa masih tidak percaya keberadaan surga dan neraka?”
Hanya dalam satu tarikan nafas,
kita bisa berlanglang buana ke alam neraka dan surga.
Dalam satu tarikan nafas pula, hidup kita bisa berakhir.
Itu hanya soal waktu, semua orang tidak terkecuali akan mengalaminya.
Tapi jangan tanyakan kapan waktu itu akan tiba.
Jangan pula bertanya pada rumput yang bergoyang
kenapa di tanahku terjadi bencana,
tetapi tanyakan pada hati nurani
apa yang telah kita perbuat selama masih bisa bernafas!
Di kala kebahagiaan itu berbuah,
tak ada yang bertanya kenapa kebahagiaan itu datang pada kita.
Tapi di saat penderitaan itu tiba,
kita tiada hentinya mengeluh mengapa penderitaan itu jatuh pada kita,
atau menyesali perbuatan buruk yang pernah kita lakukan di masa lalu.
Daripada mencari tahu jawaban kenapa atau menyesali yang telah berlalu,
akan lebih baik bila kita mengisi hari-hari ini dengan perbuatan yang bermanfaat.
Tetapi ada kalanya melakukan perbuatan yang bermanfaat
pun juga tidak selancar yang kita harapkan.
Bila demikian, haruskah kita tetap bertanya: adakah hari esok itu?
Semoga ucapan berikut ini akan sangat membantu –
sukses atau gagal, jangan terlalu dipikirkan;
sikon mendukung atau tidak mendukung, jangan berhenti.
Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya,
hanya hukum karma yang kekal,
jadi jangan kita berhenti dalam berbuat bajik.
Ingat, selama masih bernafas,
jangan berhenti untuk berpikir, berucap dan berbuat bajik!
Andai ada hari esok, biarkan dia datang diamdiam tanpa syarat;
Andai tidak ada hari esok, aku tetap akan menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya;
Andai dapat kembali ke hari kemarin, aku tetap tidak akan mengubahnya;
Andai tidak dapat kembali ke hari kemarin,
aku tetap tidak mengeluh dan tidak menyesal.
Tuesday, May 31, 2011
Andai Ada Hari Esok
8:46 AM
Unknown
0 comments:
Post a Comment