ASAL USUL ''CENG BENG''
( SEMBAHYANG KUBUR )
Menurut tradisi Tionghoa, orang akanberamai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk
melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan
dengan berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas
sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin:
Yinzhi=kertas perak).
Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan berdasarkan posisi
bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL (bukan akhir!) Cheng beng
jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila kita artikan kata Cheng beng,
maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka
Chengbeng berarti terang dan cerah.
Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena cuaca yang
bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu lokasi pemakaman
cukup jauh dari tempat pemukiman. Bahkan bila ada orang yang tinggal jauh dari
kampung halamannya, mereka akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya,
khusus untuk melakukan upacara penghormatan para luluhur.
Sejarah Cheng Beng
Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya.
Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang berhubungan
dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca)
dan dimulainya hawa panas. Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana cheng
beng itu yaitu: “Sehari sebelum cheng beng tidak ada api” atau yang sering
disebut Hanshijie (han: dingin, shi: makanan, jie: perayaan/festival).
Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di
gunung Mianshan. Jin Wengong (raja muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir
dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada hari
tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga
disebut perayaan makanan dingin.
Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi.
Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan
awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei. Sejak jaman dahulu hari
cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur. Pada dinasti Tang, hari
cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para pejabat untuk menghormati
para leluhur yang telah meninggal, dengan mengimplementasikannya berupa
membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain.
Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan kegiatan
sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas
pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang hilang adalah
menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh
di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur,
melukis telur dan mengukir kulit telur.
Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang
cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal untuk bermain
layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie
Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu. Pada dinasti Song (960-1279) dimulai
kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon
liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui.
Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan
dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming. Menurut
cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang,
kaisar pendiri dinasti Ming, untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak
tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan
leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan
ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya.
Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan?
Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya
akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di
semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga. Dikarenakan saat itu
cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk
membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang
yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil
tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba
lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas
kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya.
Asal Usul Hari Ceng Beng
(Ziarah Tahunan Tiongkok)
(Erabaru.or.id) Pada masa musim semi dan gugur, demi menghindari penindasan
Pangeran Pu Conger terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri. Dalam pelariannya
di sebuah tempat yang tidak berpenghuni, karena.penat dan lapar menderanya,
sehingga tidak mampu lagi berdiri. Para pengawalnya berusaha mencari makanan,
namun, meski telah cukup lama berusaha tidak menemukan makanan sedikit pun.
Tepat di saat semuanya dalam kecemasan, pengawal Jie Zitui menuju ke tempat
yang sepi, dan dari pahanya sendiri memotong sepotong daging, memasak semangkok
sup daging. Makanan ini secara berangsur-angsur telah memulihkan tenaga Conger,
ketika pangeran mengetahui daging itu adalah daging sayatan Jie Zitui sendiri,
ia menitikkan air mata, sangat terharu.
Sembilan belas tahun kemudian, Conger menjadi raja, yakni raja Pu Wengong di
masa lampau. Setelah naik tahta Wengong memberi hadiah kepada pejabat yang ikut
mengasingkan diri bersamanya waktu itu, hanya Jie Zitui satu-satunya yang
dilupakan olehnya. Banyak yang mengeluhkan perlakuan yang tidak adil bagi Jie
Zitui, banyak yang menasihatinya agar menghadap raja meminta hadiah. Sebaliknya
Jie Zitui paling memandang rendah orang-orang yang meminta jasa dan hadiah. Ia
berkemas-kemas, dan secara diam-diam pergi ke Mian Shan (gunung Mian) dan
menetap di sana.
Mengetahui hal itu, kemudian Pu Wengong merasa malu bukan main, lalu ia membawa
orang mengundang Jie Zitui. Namun, Jie Zitui bersama ibunya telah meninggalkan
rumahnya pergi ke gunung Mian. Gunung Mian cukup tinggi dan perjalanan ke sana
sulit di tempuh, dipenuhi dengan pepohonan. Untuk mencari dua orang di gunung
tidaklah semudah bicara, ada yang menyarankan untuk membakar gunung Mian dari
tiga sisi, supaya bisa memaksa Jie zitui ke luar dari gunung. Saran ini pun
dianggap paling memungkinkan dilakukan.
Kobaran api membakar segenap gunung Mian, namun, tidak ditemukan juga bayangan
Jie Zitui. Setelah api padam, orang-orang baru mendapati, ternyata Jie Zitui
yang menggendong ibunya sudah meninggal dalam posisi duduk di bawah sebuah
pohon willow tua. Melihat keadaan itu, Pu Wengong menangis tersedu-sedu
menyesali tindakannya. Ketika mengenakan pakaian pada jenazah dan dimaksukkan
ke dalam peti mati, dari dalam lubang pohon ditemukan secarik surat terakhir
yang ditulis dengan darah yang bertuliskan: “Menyayat daging untuk
dipersembahkan kepada raja dengan segenap kesetiaan, semoga paduka selalu
sentosa.” Demi memperingati Jie Zitui, Raja Pu Wengong memerintahkan menetapkan
hari itu sebagai hari berpuasa.
Pada tahun kedua, ketika Pu Wengong memimpin serombongan menteri mendaki gunung
untuk mengadakan upacara peringatan pada Jie Zitui, ia mendapati pohon Willow
tua yang telah mati itu hidup kembali. Lalu, pohon Willow tua itu diberi nama
“Willow Sentosa”, sekaligus memberi petunjuk di seluruh negeri, dan menjadikan
hari terakhir berpuasa sebagai hari Ceng Beng atau hari ziarah ke makam, yang
kemudian diperingati oleh warga Tiongkok dan orang-orang etnis Tionghoa di
seluruh negeri.